MERENUNGI KEMBALI 10 NOPEMBER

Setelah tewasnya Brigadir Jendral AWS Mallaby, kemudian pimpinan tentara sekutu pada tanggal 9 Nopember 1945 mengeluarkan ultimatum yang berisi semua pimpinan dan orang-orang Indonesia yang bersenjata harus melapor dan meletakkan senjatanya di tempat-tempat yang telah di tentukan dan selanjutnya menyerahkan diri dengan mengangkat tangan diatas kepala. Ultimatum itu tidak dihiraukan rakyat Surabaya walaupun deadline yang diberikan hanya sampai pukul 06.00 tanggal 10 Nopember. Waktu itu Arek-arek Surabaya bukannya mengikuti apa kata penjajah melainkan mereka bersatu menentang dan menyerang para penjajah dengan senjata seadanya. Bung Tomo salah seorang pemimpin perjuangan rakyat Surabaya, dengan suara yang menggeledek laksana halilintar mampu membakar semangat para pejuang untuk membasmi penjajah yang mencoba merampas Surabaya. Pertempuran berjalan tidak seimbang, tetapi karena semangat tekad dan perjuangan yang membara, Surabaya berhasil direbut oleh oleh arek-arek suroboyo walaupun tidak sedikit dari mereka yang gugur dalam pertempuran sebagai kusuma bangsa. Dan pemerintah kemudian menetapkan bahwa tanggal 10 Nopember adalah “ Hari Pahlawan “.

Saudaraku, itulah sepenggal kisah dari peristiwa 10 Nopember yang sebentar lagi akan kita peringati. Momentum ini bukanlah sekedar seremonial belaka. Momentum yang kini berusia 63 tahun sejak peristiwa pertempuran Sabtu pagi, 10 November 1945, di Surabaya, dijadikan simbol pengorbanan pahlawan seluruh tanah air. Di dalamnya terkandung sejarah yang patut dihayati sebagai bagian dari proses transformasi pelestarian nilai-nilai kejuangan dan kepahlawanan. Lantas bagaimana nilai dan citra keteladanan yang telah ditunjukkan para pahlawan, pejuang dan perintis kemerdekaan dilestarikan, dihayati dan diamalkan segenap masyarakat khususnya generasi muda?

Dewasa ini telah lahir generasi baru yang bukan hanya tidak mengalami masa kolonial dan pendudukan tentara Belanda atau Jepang, tetapi juga tidak mengalami masa pergolakan mempertahankan kemerdekaan. Generasi berikutnya pun yang hidup pada masa sesudah kemerdekaan hingga era reformasi pasti memiliki pengalaman beragam yang akhirnya ikut memengaruhi pandangan dan persepsinya tentang Indonesia ke depan. Suatu fenomena yang kontroversial dengan pencapaian para pahlawan kita waktu itu.

Dengan pemahaman setiap generasi adalah anak zamannya, dengan kondisi dan tantangan yang berbeda. Satu-satunya penghubung dengan masa lalu bangsanya adalah sejarah. Oleh karena itu, persepsi serta pengetahuan dan penghayatan masa lalunya ditentukan oleh seberapa banyak pengalaman yang berupa ingatan kolektif masa lalu itu diperoleh serta bagaimana cara memperolehnya.
Begitu pula dalam rangka memahami makna peristiwa 10 November yang ditranformasikan menjadi ikon Hari Pahlawan, tergantung sejauh mana kisah sejarahnya dapat menyampaikan pesan yang berupa kearifan kepada kita sekarang. Peristiwa perobekan bendera Belanda oleh pemuda-pemuda arek-arek Surabaya di Hotel Yamato, Jalan Tunjungan 65 Surabaya, pada 19 September 1945 yang mengawali pecahnya pertempuran 10 November 1945, misalnya. Peristiwa heroik ini, sekaligus merupakan klimaks dari peristiwa dan pertempuran di beberapa bagian kota sebelumnya. Pertempuran Sabtu pagi, 10 November 1945 itulah dalam ingatan kolektif bangsa dikenang sebagai Hari Pahlawan.
Kisah heroik 63 tahun silam ini merupakan awal dimulainya sebuah momentum perjuangan, dan pada setiap kali dihadirkan menjadi peringatan, saat itulah orang mencari makna dan artinya bagi kehidupan dewasa ini. Benarkah demikian?

Dewasa ini, memperingati Hari Pahlawan dengan semangat baru, cara baru, pandangan baru, adalah penting. Sebab, kita sama-sama menyaksikan bahwa selama Orde Baru, keagungan jiwa revolusioner Hari Pahlawan yang dicetuskan oleh Bung Karno telah dibikin mandul atau kerdil. Pastilah para pahlawan kita dari berbagai angkatan, berbagai suku, berbagai agama dan aliran politik, menangis sedih dalam makam mereka, melihat keadaan bangsa dan negara kita yang seperti sekarang ini. Bukanlah bangsa dan negara yang macam sekarang ini yang mereka cita-citakan ketika mereka bersedia mengorbankan diri dalam berbagai medan perjuangan, termasuk dalam pertempuran-pertempuran di seluruh tanahair.
Sebagai produk kultur politik dan kultur moral Orde Baru kerusakan dan pembusukan melanda di seluruh lini, baik di bidang eksekutif, legislatif dan judikatif, termasuk di kalangan agama. Banyak tokoh-tokoh politik, pemuka masyarakat dan pejabat yang benar-benar sudah menjadi penjahat dan pengkhianat rakyat. Banyak di antara mereka sudah tidak peduli lagi terhadap kepentingan publik. Mereka menghalalkan segala cara untuk mencuri milik negara dan rakyat. Mereka tidak segan-segan menggunakan dalil-dalil dan kedok agama untuk menimbulkan perpecahan, dan menyebar benih-benih kerusuhan.

Mengingat situasi yang begini buruk dewasa ini (ingat : dampak peristiwa bom di Bali, hubungan internasional yang memburuk, investasi yang menurun, utang yang makin menggunung, pengangguran yang makin membengkak, pelecehan terus-menerus terhadap hukum dan HAM, korupsi yang tetap merajalela) , adalah kewajiban moral angkatan muda dari berbagai golongan, keturunan, suku, agama, dan aliran politik untuk menjadikan jiwa Hari Pahlawan.sebagai senjata guna berjuang melawan pembusukan besar-besaran ini. Sebab, kelihatannya, kita sudah tidak bisa menaruh harapan lagi kepada berbagai angkatan yang telah ikut mendirikan Orde Baru, dan juga yang merupakan produk (didikan) kultur buruk ini.

Jiwa yang sudah pernah dimanifestasikan oleh angkatan muda secara gemilang dalam tahun 1998 dalam menumbangkan kekuasaan Suharto, perlu dipupuk dan dikobarkan terus, dalam bentuk-bentuk baru, sesuai dengan perkembangan situasi. Dalam perlawanan terhadap Orde Baru telah jatuh korban-korban. Mereka adalah bagian dari sederetan panjang pahlawan, yang kebanyakan tidak dikenal. Karena telah mengorbankan diri untuk melawan sistem politik dan kediktatoran yang telah membikin banyak kerusakan parah terhadap bangsa dan negara selama puluhan tahun, maka sudah sepatutnyalah bahwa mereka kita pandang sebagai pahlawan pendobrak Orde Baru.

Hari Pahlawan harus sama-sama kita kembalikan kepada peran (dan pesannya) yang semestinya. Ini adalah tugas utama bangsa kita, termasuk dari kalangan pendidikan dan sejarawan. Angkatan muda harus dididik untuk menghayati benar-benar semangat pengabdian kepada rakyat dan pengorbanan diri demi kepentingan nusa dan bangsa. Kalangan sejarawan (dan pendidikan) perlu sekali meninjau kembali buku-buku sejarah dalam sekolah-sekolah, sehingga generasi muda kita mengenal sejarah bangsa secara benar (ingat : pemalsuan yang menyesatkan : serangan 1 Maret dan pendudukan 6 jam di Yogyakarta oleh Suharto dan pemalsuan-pemalsuan sejarah lainnya).

Mungkin anak-anak bangsa negeri ini lebih ingat akan ungkapan : “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya”. Tidak salah memang, karena Bangsa Indonesia pernah dipandang besar oleh bangsa lain di dunia, terutama oleh rakyat-rakyat di Asia, Afrika dan Amerika Latin, berkat perjuangannya melawan kolonialisme dan imperialisme ( mohon dicatat antara lain : revolusi 45, Konferensi Bandung, Konferensi Pengarang Asia-Afrika, Konferensi Wartawan Asia-Afrika, Ganefo, Konferensi Internasional Anti Pangkalan Militer Asing). Suatu prestasi besar nan membanggakan yang tercatat dalam sejarah.

Inti dari semuanya adalah: setiap orang harus berjuang untuk menjadi pahlawan. Karena itu, hari pahlawan tidak hanya pada 10 November, tetapi berlangsung setiap hari dalam hidup kita. Setiap hari kita berjuang paling tidak menjadi pahlawan untuk diri kita sendiri dan keluarga. Artinya, kita menjadi warga yang baik dan meningkatkan prestasi dalam kehidupan masing-masing. Memang tidak mudah untuk menjadi pahlawan. Mungkin lebih mudah bagi kita menjadi pahlawan bakiak, yaitu suami yang patuh (takut) kepada istrinya. Atau menjadi pahlawan kesiangan, yakni orang yang baru mau bekerja (berjuang) setelah peperangan (masa sulit) berakhir atau orang yang ketika masa perjuangan tidak melakukan apa-apa, tetapi setelah peperangan selesai menyatakan diri pejuang. Dengan tekad bersama untuk menjunjung tinggi-tinggi semangat revolusioner dalam mengabdi kepada kepentingan rakyat, marilah kita sambut peringatan Hari Pahlawan. Bagaimana dengan Anda? [ASW].***

*** Oleh
Agung Setiyo Wibowo
http://think.web.id/brain/wp-content/uploads/2008/08/indo-63th-300x287.jpg
tangal 17 agustus adalah hari paling sejarah bagi bangsa indonesia karena semua warga bangsa indonesia memperingati HUT RI, dimana-mana setiap tanggal 17 agustus selalu dimeriahkan dengan acara lomba-lomba dan juga bazar walaupun hanya di selenggarakan satu tahun sekali namun orang-orang antusias apalagi dengan acara lombanya. Di kampung saya setiap RT menyelenggarakan lomba dan setiap RW menyelenggarakan bazar, di RT saya banyak mengadakan lomba-lomba contohnya seperti balap karung, lomba kelereng, sepak bola, voli dll. Teman-teman saya banyak sekali yang ikut sampai-sampai ada anak kecil yang mau ikut lomba sepak bola orang dewasa, saat lomba balap karung saya mengikuti lomba itu karena saya ingin mencobanya dan ingin bersaing dengan teman-teman saya yang lain. Di sekolah saya juga tidak ketinggalan karena sekolahan saya juga menyelenggarakan banyak lomba dan lomba yang paling saya sukai adalah lomba band, saya suka lomba band karena saya sangat gemar bermain gitar dan saya ingin berantusias dalam sekolahan saya agar semakin banyak anak yang kenal dengan saya. sebelum lomba teman-teman satu band saya sangat semangat dan band saya pun banyak latihan agar penampilan kami maksimal saat lomba, setiap hari saya ke studio untuk latihan sampai akhirnya lomba band pun dimulai. ketika band kami datang di lomba band kami sangat grogi tetapi setelah melihat peserta yang lain band kami pun tidak grogi lagi dan kami semangat menghadapi apapun walaupun menang atau kalah kami tetap senang. saat pengumuman lomba dibacakan kami sangat takut kalau band kami tidak lolos dan akhirnya nama band kami di panggil oleh panitia untuk bisa menampilkan lagu di sekolah dan kami sangat-sangat senang akhirnya kerja keras kami berhasil dengan sukses. Saat diselenggarakannya lomba band saya di beri semangat oleh teman-teman sekelas dan kami pun semakin semangat karena banyak yang mendukung band saya, ketika bermain di panggung band kami bermain dengan maksimal dan banyak anak-anak yang suka, tetapi Band kami gagal memenangkan lomba tersebut karena yang memenangkan juara satu sampai tiga adalah kakak-kakak kelas dan band kami senang walaupun tidak menang. Walaupun kami kalah tapi teman-teman kami memuji kerja keras kami dan ada juga guru yang juga memuji. Saya merasa lomba tahun ini adalah lomba yang paling menarik dengan lomba-lomba yang saya ikuti di sekolah maupun di kampung karena semangat kemerdekaan yang selalu ada di tubuh saya.

SEJARAH ISLAM DI INDONESIA

Pada tahun 30 Hijri atau 651 Masehi, hanya berselang sekitar 20 tahun dari wafatnya Rasulullah SAW, Khalifah Utsman ibn Affan RA mengirim delegasi ke Cina untuk memperkenalkan Daulah Islam yang belum lama berdiri. Dalam perjalanan yang memakan waktu empat tahun ini, para utusan Utsman ternyata sempat singgah di Kepulauan Nusantara. Beberapa tahun kemudian, tepatnya tahun 674 M, Dinasti Umayyah telah mendirikan pangkalan dagang di pantai barat Sumatera. Inilah perkenalan pertama penduduk Indonesia dengan Islam. Sejak itu para pelaut dan pedagang Muslim terus berdatangan, abad demi abad. Mereka membeli hasil bumi dari negeri nan hijau ini sambil berdakwah.

Lambat laun penduduk pribumi mulai memeluk Islam meskipun belum secara besar-besaran. Aceh, daerah paling barat dari Kepulauan Nusantara, adalah yang pertama sekali menerima agama Islam. Bahkan di Acehlah kerajaan Islam pertama di Indonesia berdiri, yakni Pasai. Berita dari Marcopolo menyebutkan bahwa pada saat persinggahannya di Pasai tahun 692 H / 1292 M, telah banyak orang Arab yang menyebarkan Islam. Begitu pula berita dari Ibnu Battuthah, pengembara Muslim dari Maghribi., yang ketika singgah di Aceh tahun 746 H / 1345 M menuliskan bahwa di Aceh telah tersebar mazhab Syafi'i. Adapun peninggalan tertua dari kaum Muslimin yang ditemukan di Indonesia terdapat di Gresik, Jawa Timur. Berupa komplek makam Islam, yang salah satu diantaranya adalah makam seorang Muslimah bernama Fathimah binti Maimun. Pada makamnya tertulis angka tahun 475 H / 1082 M, yaitu pada jaman Kerajaan Singasari. Diperkirakan makam-makam ini bukan dari penduduk asli, melainkan makam para pedagang Arab.

Sampai dengan abad ke-8 H / 14 M, belum ada pengislaman penduduk pribumi Nusantara secara besar-besaran. Baru pada abad ke-9 H / 14 M, penduduk pribumi memeluk Islam secara massal. Para pakar sejarah berpendapat bahwa masuk Islamnya penduduk Nusantara secara besar-besaran pada abad tersebut disebabkan saat itu kaum Muslimin sudah memiliki kekuatan politik yang berarti. Yaitu ditandai dengan berdirinya beberapa kerajaan bercorak Islam seperti Kerajaan Aceh Darussalam, Malaka, Demak, Cirebon, serta Ternate. Para penguasa kerajaan-kerajaan ini berdarah campuran, keturunan raja-raja pribumi pra Islam dan para pendatang Arab. Pesatnya Islamisasi pada abad ke-14 dan 15 M antara lain juga disebabkan oleh surutnya kekuatan dan pengaruh kerajaan-kerajaan Hindu / Budha di Nusantara seperti Majapahit, Sriwijaya dan Sunda. Thomas Arnold dalam The Preaching of Islam mengatakan bahwa kedatangan Islam bukanlah sebagai penakluk seperti halnya bangsa Portugis dan Spanyol. Islam datang ke Asia Tenggara dengan jalan damai, tidak dengan pedang, tidak dengan merebut kekuasaan politik. Islam masuk ke Nusantara dengan cara yang benar-benar menunjukkannya sebagai rahmatan lil'alamin.

Dengan masuk Islamnya penduduk pribumi Nusantara dan terbentuknya pemerintahan-pemerintahan Islam di berbagai daerah kepulauan ini, perdagangan dengan kaum Muslimin dari pusat dunia Islam menjadi semakin erat. Orang Arab yang bermigrasi ke Nusantara juga semakin banyak. Yang terbesar diantaranya adalah berasal dari Hadramaut, Yaman. Dalam Tarikh Hadramaut, migrasi ini bahkan dikatakan sebagai yang terbesar sepanjang sejarah Hadramaut. Namun setelah bangsa-bangsa Eropa Nasrani berdatangan dan dengan rakusnya menguasai daerah-demi daerah di Nusantara, hubungan dengan pusat dunia Islam seakan terputus. Terutama di abad ke 17 dan 18 Masehi. Penyebabnya, selain karena kaum Muslimin Nusantara disibukkan oleh perlawanan menentang penjajahan, juga karena berbagai peraturan yang diciptakan oleh kaum kolonialis. Setiap kali para penjajah - terutama Belanda - menundukkan kerajaan Islam di Nusantara, mereka pasti menyodorkan perjanjian yang isinya melarang kerajaan tersebut berhubungan dagang dengan dunia luar kecuali melalui mereka. Maka terputuslah hubungan ummat Islam Nusantara dengan ummat Islam dari bangsa-bangsa lain yang telah terjalin beratus-ratus tahun. Keinginan kaum kolonialis untuk menjauhkan ummat Islam Nusantara dengan akarnya, juga terlihat dari kebijakan mereka yang mempersulit pembauran antara orang Arab dengan pribumi.

Semenjak awal datangnya bangsa Eropa pada akhir abad ke-15 Masehi ke kepulauan subur makmur ini, memang sudah terlihat sifat rakus mereka untuk menguasai. Apalagi mereka mendapati kenyataan bahwa penduduk kepulauan ini telah memeluk Islam, agama seteru mereka, sehingga semangat Perang Salib pun selalu dibawa-bawa setiap kali mereka menundukkan suatu daerah. Dalam memerangi Islam mereka bekerja sama dengan kerajaan-kerajaan pribumi yang masih menganut Hindu / Budha. Satu contoh, untuk memutuskan jalur pelayaran kaum Muslimin, maka setelah menguasai Malaka pada tahun 1511, Portugis menjalin kerjasama dengan Kerajaan Sunda Pajajaran untuk membangun sebuah pangkalan di Sunda Kelapa. Namun maksud Portugis ini gagal total setelah pasukan gabungan Islam dari sepanjang pesisir utara Pulau Jawa bahu membahu menggempur mereka pada tahun 1527 M. Pertempuran besar yang bersejarah ini dipimpin oleh seorang putra Aceh berdarah Arab Gujarat, yaitu Fadhilah Khan Al-Pasai, yang lebih terkenal dengan gelarnya, Fathahillah. Sebelum menjadi orang penting di tiga kerajaan Islam Jawa, yakni Demak, Cirebon dan Banten, Fathahillah sempat berguru di Makkah. Bahkan ikut mempertahankan Makkah dari serbuan Turki Utsmani.

Kedatangan kaum kolonialis di satu sisi telah membangkitkan semangat jihad kaum muslimin Nusantara, namun di sisi lain membuat pendalaman akidah Islam tidak merata. Hanya kalangan pesantren (madrasah) saja yang mendalami keislaman, itupun biasanya terbatas pada mazhab Syafi'i. Sedangkan pada kaum Muslimin kebanyakan, terjadi percampuran akidah dengan tradisi pra Islam. Kalangan priyayi yang dekat dengan Belanda malah sudah terjangkiti gaya hidup Eropa. Kondisi seperti ini setidaknya masih terjadi hingga sekarang. Terlepas dari hal ini, ulama-ulama Nusantara adalah orang-orang yang gigih menentang penjajahan. Meskipun banyak diantara mereka yang berasal dari kalangan tarekat, namun justru kalangan tarekat inilah yang sering bangkit melawan penjajah. Dan meski pada akhirnya setiap perlawanan ini berhasil ditumpas dengan taktik licik, namun sejarah telah mencatat jutaan syuhada Nusantara yang gugur pada berbagai pertempuran melawan Belanda. Sejak perlawanan kerajaan-kerajaan Islam di abad 16 dan 17 seperti Malaka (Malaysia), Sulu (Filipina), Pasai, Banten, Sunda Kelapa, Makassar, Ternate, hingga perlawanan para ulama di abad 18 seperti Perang Cirebon (Bagus rangin), Perang Jawa (Diponegoro), Perang Padri (Imam Bonjol), dan Perang Aceh (Teuku Umar).

Bulan ramadhan tahun ini aku sangat senang sekali karena aku bisa berpuasa penuh walaupun banyak goda'an namun dalam hati ku "aku harus bisa memenangkan bulan amadhan ini" oleh sebab itu aku bisa berpuasa satu bulan penuh. Saat-saat paling menyusahkan adalah saat pulang sekolah, karena pada saat bulan ramadhan kemarin SMA N 11 pulangnya jam 12 siang apa lagi di jalan raya sangat panas sekali dan di jalan banyak orang-orang jualan tetapi aku tetap bertahan dan tidak menghiraukan. Sesampainya di rumah aku sholat dzuhur dulu dan langsung tidur sampai sore, setiap hari aku selalu melakukan hal itu mangkannya aku bisa kuat menahan lapar dan haus.